my style, my life

Pemakaman Kyai Imam Poero di Gunung Geger Menjangan, Desa Candi, Kecamatan Balidono, Purworejo, Jawa Tengah

Picture
Kyai Imam Poero yang nama aslinya Mbah Kunawi adalah keturunan ke sembilan dari Sultan Agung, Raja Mataram terbesar. Kyai Imam Poero yang hidup di kurun tahun 1800-1900an ini merupakan ulama termashur lain yang di miliki Kabupaten Purworejo. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Sidomulyo, Ngemplak, Purworejo yang sekarang bernama Al-Islah. Kyai Imam Poero juga dikenal sebagai pembawa pertama Thoriqoh Syattoriyah di Purworejo.
Dalam mengembangkan Thoriqoh Sathoriyah yang pengikutnya kian hari kian banyak, Kyai Imam Poero pernah ditahan Belanda karena pondok pesantrenya dicurigai melakukan kegiatan keagamaan yang memusuhi Belanda. Tapi entah bagaimana, Kyai Imam Poero lalu dibebaskan lagi dalam beberapa hari kemudian.
Pada seminar yang membahas "Peran Kyai Imam Poero dalam Pembentukan Kota Purworejo", dijelaskan bahwa Kyai Imam Poero terlibat juga dalam Perang Diponedoro yang punya tujuan mengenyahkan Belanda dari Tanah Jawa. Sebagai Ulama yang memiliki jumlah santri melimpah, Kyai Imam Poero banyak memberikan bantuan bagi Laskar Diponegoro.
Di sisi lain, Kyai Imam Poero disebut-sebut memiliki drajat setara Wali karena beberapa kelebihanya yang ada pada dirinya. Dari kisah yang diyakini kebenaranya, semasa hidupnya dulu, Kyai Imam Poero senantiasa melakukan Sholat Jum'at di Mekah walaupun jasadnya tetap berada di Purworejo. Kisah ini dibuktikan lewat penuturan seorang jamaah haji Kebumen yang tertinggal oleh rombonganya di Tanah Suci. Saat itu, untuk pergi haji harus lewat kapal laut yang memakan waktu sangat lama. Jamaah haji yang "ketinggalan kapal" ini akhirnya bisa kembali pulag ke Kebumen dengan hanya digandeng tanganya (seperti terbang) oleh Kyai Imam Poero yang ditemui saat sholat Jum'at di Mekkah. Padahal di hari Jum'at yang sama, beberapa orang lain juga mengaku bertemu Kyai Imam Poero di Purworejo. Dari kejadian tersebut para ahli agama yang mengerti tentang karomah / keistemewaan yang diberikan Allah kepada orang-orang tertentu, menyakini bahwa ilmu Kyai Imam Poero ini sudah setingkat Wali.
Setelah wafat, Kyai Imam Poero dimakamkan di Gunung Geger Menjangan, Desa Candi, Kecamatan Balidono, Purworejo, Jawa Tengah. Hampir setiap hari pemakaman ini tak pernah sepi dikunjungi para peziarah. Untuk mencapai tempat pemakamanya, melewati tangga pendakian yang cukup tinggi.
Yang menarik, di atas pemakaman Kyai Imam Poero, yakini dipuncak Gunung Geger Menjangan, terdapat "Gardu Pandang", sebuah tempat paling lepas untuk melihat kota Purworejo dari ketinggian dengan pemandangan sangat indah.
Sampai sekarang, setiap tanggal 22 Sya'ban di adakan khaul di Pemakaman Kyai Imam Poero dan Pengajian Akbar di malam 14 Sya'ban di Pondok Pesantren Al-Islah, Sidomulyo, Ngemplak, Purworejo, JATENG yang diikuti ribuan orang.


AWAL PEMBENTUKAN KOTA PURWOREJO

Picture
Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti WR Supratman, Jendral Urip Sumoharjo, Sarwo Edi Wibowo, Endriartono Sutarto, hingga AM Hendropriyono.
Wilayah Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcungguling ini,dahulu pernah masuk dalam kekuasaan Kerajaan Galuh, Menurut Purbocoroko, dari kata "Galuh", muncul "Pagaluhan" dalam bahasa jawa menjadi Pagalihan. kemudian dari "Pagalihan" berubah lagi menjadi "Pagelen" dan terakhir menjadi Bagelen.
Di sekitar Bagelen mengalir sungai Bogowonto,dari tepi sungai tersebut di temukan sebuah prasasti bersejarah,tepatnya di bawah pohon Sono di dusun Boro Tengah,sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip.
Prasasti itu menggambarkan tentang awal pembuatan koa. Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, Paro Petang, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mergasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901(Shima). Peristiwa ini di kukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang di kenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Turut hadir upacara tersebut para pejabat dari berbagai daerah,seperti: Watu Tihang (Sala Tihang),Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan),Mantyasih (Meteseh Magelang), Medhang, Pupur, Taji (Taji Prambanan), Pakambingan, Kalungan (kalongan,Loano) dan Sang Ratu Bajara, yang di perkirakan adalah Rakaryan Mahamantri (Mahapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksya) atau Daksa yang diidentifikasi sebagai adik ipar Rakai Watukura Dyah Balitung yang di kemudian hari naik thata sebagai raja pengganti iparnya itu. Sementara yang bertindak melakukan pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang adalah Dyah Sela (Mala), putra Sang Bajra sendiri.
Berdasarkan peristiwa peresmian tanah perdikan oleh Dyah Sela tersebut, pada tanggal 5 oktober 1994 sidang DPRD Kabupaten Purworejo memutuskan tanggal dan tahun kejadian tersebut sebagai Hari jadi Kabupaten Purworejo,yang dulu lebih di kenal sebagai Bagelen.

PEMBUATAN BEDUG KYAI BAGELEN TERBESAR DI DUNIA

Picture
Seusai Perang Diponegoro tahun 1830, Kadipaten Bagelen di pecah menjadi empat wilayah oleh Kolonial Belanda, yaitu Kadipaten Brengkelan, Kadipaten Semawung, Kadipaten Karangduwur, dan Kadipaten Ngaran. Pemecahan tersebut adalah bentuk politik pecah belah Pemerintahan Hindia Belanda. Yang bertujuan agar pemberontakan seperti masa Diponegoro tak terulang.
Karena berkonotasi jelek, nama Kadipaten Brengkelan di ubah menjadi Purworejo oleh Adipati Cokronegoro (Bupati Pertama) tahun 1831. Selain mengubah nama wilayah, Cokronegoro selalu membuat proyek-proyek marcu suar.
Setelah sukses mendirikan istana kadipaten dan alun-alun yang berukuran besar, Cokronegoro juga membangun masjid agung terbesar yang menandingi kebesaran Masjid Agung Kesunanan Surakarta.
Setelah masjid berdiri, seperti biasanya di perlukan sebuah beduk penanda waktu shalat. Cokronegoro lalu mengutus pasukanya mencari kayu jati terbaik di hutan Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Bagelen. Akhirnya ditemukan pohon jati berdiameter dua meter dan konon bercabang lima.
Untuk membawa bedug ke Masjid Agung Purworejo dari hutan Pendowo yang berjarak sembilan kilometer, pada saat itu bukanlah persoalan mudah. Akhirnya, lewat ide seorang modin dari Dusun Pendowo, bedug itu dibawa ke masjid agung debgan cara digelindingkan dengan balok kayu. Bupati juga memerintahkan segenap aparat desa dan warganya untuk bersedia membantu perjalanan bedug secara estafet dari hutan pendowo hingga ke desa-desa yang dilaluinya sampai ke masjid agung, upaya tersebut konon memakan waktu sampai setengah bulan.
Hingga kini bedug terbesar di dunia tersebut masih tersimpan di srambi Masjid Agung Purworejo, yang terletak di sebelah Barat alun-alun kabupaten. Bedug itu berukuran panjang 2,92 meter dan diameter rata2 1,94 meter, di perkirakan bedug tersebut dibuat tahun 1762 Jawa atau 1834 Masehi. Bedug raksasa ini di beri nama Kyai Bagelen. Dinamakan Kyai Bagelen karena bedug tersebut di buat dari daerah Bagelen,yang merupakan cikal bakal wilayah Kadipaten Purworejo. Dahulu penutup bedug yang di gunakan untuk di tabuh terbuat dari kulit banteng, sekarang di gunakan sapi impor, karena kulit sapi lokal tidak bisa menutupi seluruh lingkaran nedug. Untuk menjaga keawetan kulit dan kayu, Bedug Kyai Bagelen hanya ditabuh pada hari-hari besar keagamaan dan pada hari jumat. Beda dengan di masa lampau hampir setiap hari bisa di tabuh. 

MASJID SANTREN BAGELEN

Picture
INI RUANGAN DALAM MASJID SANTREN BAGELEN.DALAM RUANGAN INI TERDAPAT 12 BUAH SOKO ROWO,MIMBAR YANG ARTISTIK DI BUAT PENUH UKIRAN TANGAN,MENCERMINKAN KARYA SENI TINGKAT TINGGI SEJAK LEBIH DARI 385 TAHUN LALU DAN SALAH SATU SOKO ROWO DI SEBELAH UTARA MIHRAB TERDAPAT PRASASTI DALAM HURUF ARAB.MASJID SANTREN,BAGELEN,PURWOREJO,JAWA TENGAH INI DI DIRIKAN PADA TAHUN 1618.


Masjid Santren, Bagelen adalah masjid tertua di wilayah Bagelen. Didirikan pada tahun 1618, masjid ini berarsitektur tradisional Jawa dengan atap tajuk tumpang satu. Konstrukasi kayu serta gonjo Masjid Santren sama dengan yang ada di Masjid Mernara Kudus dan Masjid Kajoran,klaten. Ada kemungkinan ketiga masjid ini berasal dari masa pembuatan yang sama. Di sisi utara dan selatan terdapat sederet makam yang di beri cungkup di antaranya terdapat beberapa makam berprasasti.
Srambi masjid terdiri dari dua ruang. Ruang utama,berbentuk bujur sangkar berukuran 10 x 10 m dengan lantai yang didominasi warna hijau. Terdapat empat tiang soko guru berbentuk bulat dengan diameter 40 cm dan di antara deretan tembok pada ruang utama terdapat 12 buah soko rowo.
Pada salah satu soko rowo di sebelah utara mihrab terdapat prasasti dalam huruf Arab yang berbunyi:" Masjid ini di bangun di negeri yang agung untuk leluhur yang sudah meninggal atas perintah isteri Sultan Mataram,di berikan kepada Ustadz Baidlowi dan sebenarnya yang membuatmasjid ini Khasan Muhammad Shufi, semoga ia mendapat ridla Allah,berupa nikmat dunia dan akhirat dan di tetapkan imanya".
Kisah mengenai Masjid Santren ini tampaknya berawal dari zaman pemerintahan Kerajaan Mataram di bawah Aanembahan Senopati, di mana Bagelen merupakan daerah yang memiliki peranan penting sebagai "Negoro Agung" yang merupakan daerah di luar wilayah ibukota. Bagelen adalah pertahanan terakhir Mataram sebelum ibukota yang memiliki nilai strategis militer bagi Kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung 1613-1645. Pada masa itu hidup seorang ulama besar bernama Kyai Baidlowi di daerah Bagelen yang senantiasa membantu Mataram melawan Belanda. Dengan ilmunya yang tinggi, Belanda sering di buat tak berdaya menghadapi Mataram yang di bantu Kyai Baidlowi.
Atas jasanya yang besar bagi Mataram, isteri Sultan Agung lalu menghadiahi sebuah Masjid yang pembangunanya diarsiteki oleh Khasan Muhammad Shuufi. Hadiah masjid ini mencerminkan keadaan pertahanan Mataram yang sangat bergantung pada hubungan baiknya dengan Bagelen. Masjid ini sekaligus menandai perkembangan Islam yang telah mencapai wilayah Bagelen di zaman pemerintahan Sultan Agung.
Kyai Baidlowi beserta anaknya RKH Chasan Moekibad di makamkan di areal Masjid ini. Para peziarah di hari-hari besar Islam maupun sehari-hari banyak yang berkunjung ke tempat ini. Juru kunci yang sampai saat ini mengabdikan dirinya di Masjid Santren, Bagelen adalah keturunan langsung Kyai Baidlowi.

 MAKAM KELUARGA TJOKRO NEGORO di DESA BULUS, PURWOREJO, JAWATENGAH

Picture
 
 ADIPATI TJOKRO NEGORO
Bupati pertama Purworejo dari dinasti Tjokro Negoro ini mencontohkan makna kegigihan tentang perjuangan meraih cita-cita tinggi. Sebelum menjadi Bupati, Tjokro Negoro bernama Ngabei Resodiwiryo atau bisa di panggil Ki Resodiwiryo adalah seorang pemuda desa yang bekerja pada Keraton Surakarta dengan pangkat Mantri Gladag, sebuah kedudukan yang tak memberikan kepuasan berarti bagi cita-citanya yang menjulang.
Untuk memperdalam ilmu, Ki Resodiwiryo melepas jabatan sebagai Mentri Gladag dan kembali ke desanya, Bragolan (sekarang Purwodadi). Ada yang mengatakan, kepulangan Ki Resodiwiryo ke Desa Bragolan untuk melakukan " Tapa Ngluwat " selama 40 hari. Setelah merasa ilmunya bertambah, Ki Resodiwiryo kembali ke Surakarta mencari peruntungan yang lebih baik. Saat itu, ilmu kanuragannya, diceritakan sudah mencapai tingkat sangat tinggi.
Saat pecah perang Diponegoro, Keraton Surakarta di peralat oleh Belanda secara licik untuk melawan Laskar Diponegoro. Keahlian Belanda dalam mengadu domba dan memecah belah bangsa Indonesia, mengobarkan perebutan kekuasaan sesama raja-raja tanah Jawa kala itu. Rakyat pun didaulat untuk bertempur tanpa mengerti duduk perkara yang sebenarnya.
Ki Resodiwiryo yang sejak awal mengabdi kepada Keraton Surakarta, tentu terpanggil hatinya untuk mempertahankan Surakarta.Sewaktu diminta oleh Pangeran Koesoemoyudo, Panglima Perang Surakarta saat itu untuk membela Surakarta, Ki Resodiwiryo menyambut baik ajakan ini dan di tugaskan menjaga wilayah Bagelen karena dianggap tahu betul seluk beluk daerah itu.
Setelah Perang Diponegoro berakhir, Ki Resodiwiryo lalu diangkat menjadi Bupati Bagelen yang akhirnya menjadi Bupati Purworejo dengan gelar Raden Tumenggung Tjokro Negoro dengan hak turun-temurun sebagai penguasa daerah.
Gelarnya kemudian di naikan menjadi Raden Adipati Aryo. Dengan demikian sebutan lengkapnya menjadi Raden Adipati Aryo Tjokro Negoro I, menjabat dari tahun 1831 sampai 1856. Ia meninggal pada usia 83 tahun pada tanggal 23 September 1856, di makamkan di Kompleks Pemakaman Keluarga Tjokro Negoro di Desa Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah meninggal, kedudukanya sebagai Bupati digantikan oleh putera-puteranya secara berturut-turut, yakini Raden Adipati Aryo Tjokro Negoro II, III, dan IV.
Pada saat pemerintahan Adipati Tjokro Negoro IV,oleh karena suatu kesalahan terhadap Pemerintahan Belanda, ia diberhentikan dari jabatan Bupati Purworejo pada tahun 1919. Namun pada1921 jabatan sebagai Bupati Purworejo di berikan kembali kepada Tjokro Negoro IV hingga pensiun.

Masjid Loano

Picture
Masjid Loano, di dirikan sebagai bagian dari persyaratan dakwah para wali.

Arah Mustaka di puncak Masjid Loano yang bisa berubah-ubah arah ini,konon menunjukan tempat adanya musibah di Indonesia.

Tiang-tiang penyangga Masjid Loano masih menampakkan bentuk aslinya sebagai gaya bangunan khas masa lalu.

Masjid yang telah mengalami sedikit renovasi ini menurut keterangan,di dirikan dulu sebelum Masjid Demak yang terkenal sebagai tempat pertemuan para Wali Songo. Salah satu pendiri Masjid Loano adalah Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga. Di masa itu ada semacam persyaratan bagi seseorang dengan drajat sunan (mungkin setara wali) untuk mendirikan Masjid sebagai bagian dari dakwah yang di amanahkan kepadanya.
Loano adalah bagian dari Kabupaten Purworejo,Jawa Tengah yang dulu justru merupakan sebuah kerajaan besar tersendiri sejak zaman Kerajaan Pajajaran hingga Kerajaan Mataram. Para adipati yang pernah memerintah di Loano adalah Gagak Pranolo I, II, III, IV dan Gagak Kumitir.
Masjid Loano yang dulu di bangun di dalam Beteng kadipaten ini, mempunyai keistimewaan tersendiri. di bagian puncak Masjid yang di sebut sebagai Mustaka,terdapat kayu penunjuk yang selalu berubah-ubah arah. Arah Mustaka yang bisa berubah-ubah itu konon menunjukan tempat adanya musibah di Indonesia.
Seakan menjadi bukti kebnaran arah mustaka tersebut,saat artikel ini di tulis, Mustaka di puncak Masjid Loano sedang menuju ke arah Timur Laut, berarti mengarah ke wilayah Papua yang kemarin memang sedang di landa beberapa kerusuhan dan pemberontakan.
Tiang-tiang penyangga Masjid Loano masih menampakan bentuk aslinya sebagai gaya bangunan masa lalu yang unik. bagian kayu atas Masjid menyimpan guratan tulisan berbahasa Arab yang memuat tentang beberapa doa dalam sholat.
Keindahan berikutnya dari Masjid Loano terdapat pada mimbarnya yang di buat dengan bentuk khas yang melambangkan citra seni zaman itu.
Tiap satu Syura Masjid Loano secara rutin menyelenggarakan pengajian akbar yang di kunjungi oleh jamaah berbagai daerah.